Jumaat, 11 Januari 2013

Masalah Nilai


Setiap manusia mempunyai prinsip dalam melakukan tindakan. Prinsip semacam tolok ukur dan rujukan yang membentuk sebuah tindakan. Epistemologi nilai artinya sumber nilai yang dirujuk. Secara filosofis, sumber nilai berasal dari akal manusia sendiri, karena manusia bertindak dengan pertimbangan akalnya. Akan tetapi, akal yang dimaksudkan bermacam-macam bahwa dari akal telah melahirkan berbagai aliran-aliran dari filsafat. 

Sesungguhnya pandangan bahwa rasio melakukan penalaran yang dirangsang oleh pengalaman, itu merupakan indikasi bahwa keduanya berkeinginan hidup rukun berdampingan. Rasionalisme dan emperisme bukan dualisme yang dikotomi, melainkan kesepaduan sumber pengetahuan yang memperkuat kebenaran esensinya. 

Immanuel Kant, melakukan upaya kompromisasi melalui kritismenya, sehingga rasio dan pengalaman benar-benar memancarkan nilai yang sangat berharga. Dengan pertimbangan itulah, bagi kritisme atau rasionalisme, empiris tujuan pengetahuan adalah terealisasikannya kebenaran pengetahuan yang rasional dan empirik.  

Perbahasan 

a. Aksiologi 
Secara etimologis, aksiologi berasal dari kata aksios yang berarti nilai dan logos berarti ilmu atau teori. Aksiologi sebagai teori tentang nilai yang membahas tentang hakikat nilai sehingga disebut Filsafat Nilai. Persoalan tentang nilai apabila dibahas secara filasafati akan lebih memperhatikan persoalan tentang sumber nilai. Dalam definisi yang hamper serupa bahwa aksiologi ilmu pengetahuan membahas tentang nilai-nilai yang member batas-batas bagi perkembangan ilmu.[1]

Secara historis, istilah yang lebih umum dipakai adalah etika (ethics) atau moral (morals). Tetapi dewasa ini, istilah axios (nilai) dan logos (teori) lebih akrab dipakai dalam dialog filosofis. Jadi, aksiologi bisa disebut sebagai the theory of value atau teori nilai. Bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and ends). 

Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis. Ia bertanya seperti apa itu baik. Tatkala yang baik teridentifikasi, maka memungkinkan seseorang untuk berbicara tentang moralitas, yakni memakai kata-kata atau konsep-konsep semacam “seharusnya” atau “sepatutnya”. Demikianlah aksiologi terdiri dari analisis tentang kepercayaan, keputusan, dan konsep-konsep moral dalam rangka menciptakan atau menemukan suatu teori nilai.[2]

Sebagai bagian dari filsafat, aksiologi atau filsafat nilai dan penilaian, secara formal baru muncul pada pertengahan Abad ke-19. Meskipun sejak zaman Yunani Kuno masalah-masalah aksiologi telah dibicarakan orang, namun pembicaraannya terlalu khusus dalam hubungannya dengan masalah tertentu, belum berbicara mengenai aksiologi pada prinsipnya.[3] Semenjak zaman Yunani kuno, para filosof telah menulis segi, teori tentang problema nilai. Sekarang, penyelidikan tentang apa yang dinilai manusia, dan apa yang harus dinilai, telah menimbulkan perhatian baru. 

Secara kesimpulan, aksiologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang nilai secara umum. Sebagai landasan ilmu, aksiologi mempertanyakan untuk apa pengetahuan berupa ilmu itu dipergunakan, bagaimana kaitannya dengan cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral, bagaimana kaitannya dengan teknik, procedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral dan professional.[4]

b. Masalah-Masalah Berkaitan Dengan Nilai. 
Filsafat Nilai adalah kajian aksiologis yang mengedepankan jawapan atas pertanyaan, untuk apa pengetahuan dicari? Mengapa harus mengamalkan pengetahuan? Teori nilai mencakup dua cabang filsafat yaitu etika dan estetika. Yang pertama membahas tentang perilaku dan baik buruk manusia sedangkan yang kedua berkaitan dengan keindahan dan seni dalam kehidupan manusia. 

1. Etika 
Etika adalah bahasa yang mengenai tingkah laku. Nilai baik dan buruk yang didasarkan pada rasio adalah etika. Selain istilah etika, pada umumnya pengetahuan tentang baik dan buruk berbeda-beda. Ada yang menyebutnya sebagai akhlak, moral, susila, norma dan etika.[5]

Juhaya S.Pradja mengatakan bahwa ada empat pendekatan dalam menilai suatu pendapat moral: 

1. Pendekatan empiris-deskriptif, menyelidiki pandangan umum tentang moralitas yang berlaku, dampak dari mengikuti atau mengingkari norma yang telah menjadi sistem sosial[6]. Pendekatan ini lebih tepat di kaji oleh sosiologi, antropologi dan psikologi. 

2. Pendekatan fenomenologis, penyelidikan tentang kesadaran moral secara subjektif. Maksud subjektif di sini adalah membiarkan moral dan norma secara alamiah menjelaskan dampaknya sendiri. 

3. Pendekatan normatif: penyelidikan tentang norma sosial yang berlaku umum, apakah masih memiliki relevansi dengan kehidupan manusia ketika ini atau harus ditolak. 

4. Pendekatan Metaetika[7]: Penyelidikan tentang kebenaran diluar dirinya. Sebagai ilmu yang mempertanyakan etika sendiri sebagai ilmu. Moral yang dianut telah menjadi sistem sosial digali substansinya, sehingga materi moral dapat divalidasi dengan kerangka moral yang lain yang dipandang lebih pragmatis.[8]

Contoh yang bisa diambil untuk menjelaskan perkara mengenai etika adalah, apakah poligami itu baik atau buruk. Islam mengatakan, ia dibolehkan dan ianya dapat dilakukan apabila cukup syarat-syaratnya. Bagi pandangan kebudayaan Barat, ia mengatakan itu adalah buruk kerana ia melanggar hak asasi wanita. Dan tidak ada halangan bagi yang berhubungan seks secara tidak halal, itu dibenarkan dan tidak melanggar hak asasi manusia jika kedua-dua pelaku itu suka sama suka dan rela. Berbeda dengan apa yang di sebut di dalam Islam. 

Etika ini tidak diperhatikan dalam tradisi keilmuan di Barat, sehingga Barat mampu mencapai kemajuan sains dan teknologi, namun sesungguhnya kemajuan tersebut menjadi semu dan mengalami kepincangan mengingat di dalam waktu bersamaan menimbulkan dekadensi moral yang sangat parah. Orang-orang Barat sentiasa resah terhadap dampak negatif dari serangkaian kemajuan yang berhasil dicapai. Kondisi ini secara langsung atau tidak langsung adalah akibat dari sains mereka yang tidak di bangun atas landasan atau dasar etika. Jika saja etika dijadikan landasan bagi bangunan sains mereka, setidaknya mampu mengendalikan, bahkan dapat mencegah krisis moralitas tersebut.[9]

Berbeda dengan tradisi Barat, tradisi keilmuan Islam sejak dini memiliki perhatian besar pada etika. Pada prinsipnya, etika memiliki peranan besar dalam menuntun perkembangan pengetahuan dan respon masyarakat, sehingga pertimbangan-pertimbangan aksiologis selalu di tempatkan menertai pertimbangan-pertimbangan epistemologis, agar di samping mampu mencapai kemajuan juga mampu mempertahankan moralitas positif. 

A.Rashid Moten menegaskan: “Di dalam Islam, ilmu harus didasari dengan nilai dan harus memiliki fungsi dan tujuan. Dengan kata lain, pengetahuan bukan untuk kepentingan sendiri, tetapi menyajikan jalan keselamatan, dan agaknya tidak seluruh pengetahuan melayani tujuan ini."[10]

2. Estetika 
Menurut Juhaya S.Pradja, teori lama tentang keindahan bersifat metafisik, sedangkan teori modern bersifat psikologis. Menurut Plato pula, keindahan adalah realitas yang sebenarnya dan tidak pernah berubah-ubah. Keindahan adalah bersifat objektif barang yang dinilai. Dengan demikian, ia mementingkan metafisik daripada ukuran faktual yang terdapat pada objek yang di nilai. Keindahan adalah hakikat. Oleh karena itu, keindahan bukan berasal dari suatu benda, tetapi menyertai benda itu sendiri.[11]

Secara psikologis, keindahan itu bukan hanya berbau kenikamatan yang menyenangkan. Cinta bertaut dengan benci, kehidupan bertaut dengan kematian, rindu dan cemburu, gembira dan sedih, suka dan duka, penyesalan dan emosi-emosi lainnya yang menjadi hukukm keseimbangan. 

Bagi Plotinus pula, keindahan itu adalah cahaya pancaran ilahiyah. Bila yang hakikat itu memancarkan dirinya atau sinarnya dalam realitas yang penuh, itulah hakikat keindahan. Keindahan itu bebas tafsiran. Sekehendak pikiran dan perasaan yang menikmatinya, maka segala sesuatu memiliki keindahan.[12]

Contoh yang bisa diambil untuk estetika adalah apabila kesenangan yang dirasai oleh seorang pemimpin yang dipuji melewati batas, dia akan merasakan benar selalu, akhirnya akan membuatkan si pemimpin itu menjadi diktator. Semuanya dianggap salah melainkan hanya dirinya yang benar. 

Nilai estetika itu bersifat objektif jika ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai sebaliknya nilai itu subjektif jika eksistensinya, maknanya dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian, tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis atau fisis.[13]

Kesimpulan 
Kesimpulan dari makalah ini adalah nilai terbagi kepada dua hal: yang pertama membahas tentang perilaku dan baik buruk manusia sedangkan yang kedua berkaitan dengan keindahan dan seni dalam kehidupan manusia. 

Etika ini tidak diperhatikan dalam tradisi keilmuan di Barat, sehingga Barat mampu mencapai kemajuan sains dan teknologi, namun sesungguhnya kemajuan tersebut menjadi semu dan mengalami kepincangan mengingat di dalam waktu bersamaan menimbulkan dekadensi moral yang sangat parah. 

Dan bagi estetika, nilai estetika itu bersifat objektif jika ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai sebaliknya nilai itu subjektif jika eksistensinya, maknanya dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian, tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis atau fisis.


[1] H.A Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu, (Jakarta, Penerbit Rineka Cipta, 2010) Hal 231
[2]http://makrufimuhammad.blogspot.com/2012/03/sistematika-filsafat-aksiologi.html di akses pada 25 Desember 2012
[3]Risiri Frondizi, Filsafat Nilai, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001) hal 1
[4]Erliana Hassan, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian Ilmu Pemerintahan, (Bogor, Ghalia Indonesia, 2011) hal 130
[5] Beni Ahmad Saebani, Filsafat Ilmu: Kontemplasi Filosofis tentang Seluk Beluk Sumber dan Tujuan Ilmu Pengetahuan, (Bandung, Pustaka Setia, 2009) hal 195
[6] Contoh: Undang-undang yang telah digubal oleh sesebuah negara atau apa yang telah menjadi ketetapan di dalam beragama.
[7] Metaetika adalah metode untuk mencegah kekeliruan penilaian terhadap moral itu sendiri.
[8] Beni Ahmad Saebani, Filsafat Ilmu…hal 194-195.
[9] Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam: Dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik (Jakarta, Penerbitan Erlangga, 2007) hal 161
[10] Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam…hal 162
[11] Beni Ahmad Saebani, Filsafat Ilmu… hal 200
[12] Beni Ahmad Saebani, Filsafat Ilmu… hal 201
[13] Risiri Frondizi, Filsafat Nilai…hal 20

1 ulasan:

Aisyah M.Yusuf berkata...

Firman Allah Subhanahu wata’ala yang artinya :
“Bulan Ramadhan adalah bulan diwahyukannya Al-Qur’an, petunjuk bagi manusia dan penjelas bagi petunjuk tersebut dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)” .(QS Al-Baqarah 185).
“ Dan siapakah yang lebih benar perkataannya dari pada Allah?”( Q S 4 : 122 )
” Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu”. ( Q S 2 : 147 )
“ Ini adalah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah, agar mereka mempelajari ayat-ayat-Nya dan agar orang-orang yang mempunyai akal dapat mengambil pelajaran “ ( Q.S 38 : 29 )
“ Kitab ( Al-Qur’an ) ini tidak ada keraguan pada nya , petunjuk bagi mereka yang bertaqwa “ (QS. 2 :2 )
” Maka apakah orang yang berpegang pada keterangan yang datang dari Tuhannya sama dengan orang yang ( syaitan ) menjadikan dia memandang baik perbuatannya yang buruk itu dan mengikuti hawa nafsunya ? . ( Q.S 47 : 14 )
”.....Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” ( Q S . 2 : 216 )
” Dan kebanyakan mereka tidaklah mengikuti kecuali prasangka saja., Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna mencapai kebenaran . Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan ” ( QS . 10 : 36 )
“ Demi Allah , Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami kepada umat-umat sebelum kamu , tetapi syaitan menjadikan umat-umat itu memandang baik perbuatan mereka ( yang buruk ). Maka syaitan menjadi pemimpin mereka dihari itu dan bagi mereka azab yang pedih “. ( QS.An-Nahl : 63 )