Selasa, 6 November 2012

Intergrasi Ilmu Pengetahuan


Oleh: 
Abdullah Hakimi Bin Zanal Abidin
Tugasan Epistemologi Islam II

Integrasi ilmu agama dan umum hakikatnya adalah usaha menggabungkan atau menyatupadukan ontologi, epistemologi dan aksiologi ilmu-ilmu pada kedua bidang tersebut. Integrasi kedua ilmu tersebut merupakan sebuah keniscayaan tidak hanya untuk kebaikan umat islam semata, tetapi bagi peradaban umat manusia seluruhnya. Karena dengan integrasi, ilmu akan jelas arahnya,yakni mempunyai ruh yang jelas untuk selalu mengabdi pada nilai-nilai kemanusiaan dan kebajikan jagat raya, bukan malah menjadi alat dehumanisasi, eksploitasi,dan destruksi alam. Nilai-nilai itu tidak bisa tercapai bila dikotomi ilmu masih ada seperti yang terjadi saat ini. 

Integrasi ilmu bukan hanya tuntutan zaman, tetapi mempunyai legitimasi yang kuat secara normatif dari Al-Qur’an dan hadis serta secara historis dari perilaku para ulama Islam yang telah membuktikan sosoknya sebagai ilmuan integratif yang memberikan sumbangan luar biasa bagi kemajuan peradaban manusia. 

Saat ini, bentuk integrasi ilmu masih diformulasikan. Tawaran model integrasi yang coba dipraktekan oleh berbagai Perguruan Tinggi Islam masih menyisakan perdebatan baik internal maupun eksternal. Karenanya, model integrasi yang dipraktekan mereka merupakan hal yang belum final dan memerlukan evaluasi yang terus-menerus dari semua komponen masyarakat. 

Integrasi ilmu adalah keharusan bagi umat Islam. Oleh karenanya tanggungjawab ini bukan hanya kewajiban pemerintah semata dan Perguruan Tinggi Agama Islam, tapi juga kalangan Perguruan Tinggi Umum dan seluruh umat Islam yang menginginkan kemajuan Islam dan peradaban manusia yang lebih maju dari humanis. 

Latar Belakang Integrasi Ilmu 

Maraknya kajian dan pemikiran integrasi keilmuan (islamisasi ilmu pengetahuan) dewasa ini yang sering didiskusikan oleh kalangan intelektual Muslim, antara lain Syed Naquib Al-Attas dan Ismail Raji’Al-Faruqi tidak lepas dari kesadaran berislam di pergumulan dunia global yang sarat dengan kemajuan ilmu teknologi. Ia, misalnya berpendapat bahwa umat Islam akan maju dan dapat menyusul Barat manakala mampu mentransformasikan ilmu pengetahuan dalam memahami wahyu ,atau sebaliknya mampu memahami wahyu untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. 

Usaha menuju integrasi keilmuan sejatinya telah dimulai sejak abad ke-9, meski mengalami pasang surut. Pada masa Al-Farabi (lahir tahun 257 H / 890 M) gagasan tentang kesatuan dan hierarki ilmu yang muncul sebagai hasil penyelidikan tradisional terhadap epistemologi serta merupakan basis bagi penyelidikan hidup subur dan mendapat tempatnya. Gagasan kesatuan dan hierarki ilmu ini, menurut Al-Farabi, berakar pada sifat hal-hal atau benda-benda. 

Ilmu merupakan satu kesatuan karena sumber utamanya hanya satu, yakni intelek Tuhan. Tak peduli dari saluran mana saja, manusia pencari ilmu pengetahuan mendapatkan ilmu itu .Dengan demikian, gagasan integrasi keilmuan Al-Farabi dilakukan atas dasar wahyu Islam dari ajaran-ajaran Al-Qur’an dan Hadis. 

Intergrasi Adalah Pelarutan, Bukan Pencampuran 

Ada dua konsep yang ditekankan oleh Islam, yaitu ad-dunya wal-Akhirah. Ad-Dunya dapat diartikan sebagai nilai-nilai yang rendah, yakni bagian hidup yang berbentuk materialistik serta mementingkan hasil kepuasan serba duniawi semata. Sedangkan al-Akhirah adalah bagian hidup yang lain, yakni nilai-nilai yang tinggi, yang mulia dan agung serta menekankan tujuan hidup moral. 

Kedua bagian tersebut tidak dapat merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Bahkan mutu kehidupan di akhirat adalah di tentukan oleh kehidupan dunia. Oleh karena itu, tidak ada satu aktivitas seorang muslim yang dapat lepas dari keterkaitan dengan dunia dan akhirat. Dalam konteks pendidikan agama, sesungguhnya ini dapat dikatakan bahwa pendidikan agama itu mencakup pendidikan umum. Pandangan dikotomis yang selama ini mewarnai dunia Islam sebenarnya justru bertentangan dengan petunjuk ajaran Islam itu sendiri. 

Tiga Karekteristik Sains Islam 

Dewasa ini, di negara-negara maju dan berkembang, kampus lebih banyak dituntut masyarakat untuk melayani keinginan untuk membentuk masyarakat baru. Oleh karena itu, kampus memang tidak cukup hanya berfungsi sebagai penggali dan pengembang ilmu pengetahuan. Lebih dari itu, yang lebih fundamental adalah hendaklah kampus menggunakan konsep baru yang utuh dari sains, yaitu sains yang tidak menyerah kepada hambatan atau kendala berdimensi ruang dan waktu. 

Konsep sains yang utuh tersebut harus memiliki tiga karekteristik pokok: 

1. Sains harus berorientasikan kepada dasar-dasar nilai. Di balik sains, mengenai wawasan dunia yang sering berubah, harus ada kebenaran nilai-nilai tertentu yang merupakan dasar pembahasan sains. Nilai-nilai ini dapat ditemukan dengan menggunakan teori-teori ilmiah ataupun metode profetis, yang sering dihubungkan dengan konsep segi tiga kajian sains: Tuhan-Alam-Manusia. 

Ibnu Khaldun pernah memberikan kritik sains dengan mengutamakan teori ilmiah dan profetis. Sains demikian adalah sains islami yang harus ditemukan bagi kehidupan seluruh manusia disegala ruang dan waktu. Inilah visi utama sains dari manusia yang berperadaban tinggi, yaitu sains yang dapat dijelaskan dengan motode ilmiah atau cara berpikir , dan metode profetis atau zikir. 

2. Dengan sains Islam ini, kampus akan memiliki tujuan penemuan dan pengukuhan paradigm dan premis intelektual yang berorientasikan kepada nilai, dan membaktikan dirinya kepada pembaharuan dan pembangunan masyarakat, yang bergerak kedepan melalui penemuan ilmiah. Sains Islami inilah yang akan menunjang wujudnya cetak biru masa depan umat manusia. Umat masa depan yang baik tidak akan kita jumpai pada satu sisi perkembangan sains saja, tetapi pada keyakinan manusia yang utuh terhadap kebenaran mutlak yang merupakan sumber segala sumber. 

3. Sains Islami yang berdomisili di dalam maupun diluar kampus harus berguna bagi tujuan-tujuan tertentu sesuai dengan kebenaran dan berada di dalam proses fungsi terdepan untuk menunjang perubahan dan pembangunan serta membantu memperbaiki dunia. 

Dengan karekter konsep sains islami tersebut, maka kampus harus menempatkan dirinya dalam masyarakat yang pluralistic yang makin rumit, tanpa mengorbankan etos dan etika anutannya. Dengan demikian, kampus bukanlah ajang pendidikan tinggi yang dilaksanakan dengan kemewahan dan keangkuhan intelektual, melainkan media untuk mencapai kemuliaan hidup untuk kesempurnaan akhlak. 

Kesimpulan 

Kita akui secara jujur, memang tidak mudah dalam keadaan sekarang memadukan ilmu pengetahuan dan teknologi di perguruan tinggi dengan nilai agama. Tetapi hal itu tidaklah mustahil karena cara ini –pengitergrasian nilai agama dengan ilmu akan dapat menembus substansi ilmu ataupun kekacauan aplikasinya dan kegagalan pemanfaatannya. Kesadaran bahwa nilai agama terangsang oleh industrialisasi dan modenisasi, telah membuka perhatian masyarakat kepada nasalah bagaimana menyelamatkan ilmu dan teknologi dalam rangka menyelamatkan manusia. 

Barat kini mulai melihat dan melirik Islam sebagai alternative ketiga. Profesor Dr Maurice Bucaile, dokter ahli bedah Perancis , lalu menjadi muslim setelah ia mempelajari Islam secara bersungguh-sungguh, dan di ungkapkan di dalam bukunya yang terkenal, Bible, Quran and Science. Saat ini para ilmuan tidak lagi terpukau kepada saintisme: Science is most powerful, karena implimentasi saintisme ternyata telah menumbuhkan dengan pelbagai masalah dan gejala yang cenderung akan menjadi sesuatu yang membunuh peradaban manusia. Sains telah menjadi kering dan menggiring manusia kepada kehidupan yang penuh dehumanisasi sesame manusia, dan kepada lingkungan yang tidak harmonis antara manusia dan alam.

Tiada ulasan: